
A. Melampaui Angka: Kisah di Balik Mantra IHSG 9.000
Target 9.000 untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di pengujung tahun 2025 bukan sekadar garis statistik. Ia adalah puncak ambisi, simbol kepercayaan diri Indonesia yang harus dijaga agar tetap berkobar di tengah gejolak pasar global. Sosok sentral yang paling lantang menyuarakan visi ini adalah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Dengan retorika yang kuat, Purbaya menanamkan optimisme pasar, memproyeksikan IHSG akan mencapai rekor tertinggi, yaitu 9.000 pada akhir tahun 2025. Ia menegaskan bahwa proyeksi ini didukung oleh model matematis dan data historis yang menunjukkan bahwa indeks memiliki potensi untuk berlipat ganda dalam satu siklus bisnis. Pesannya jelas, ia ingin menumbuhkan keyakinan kuat, bahkan menggunakan frasa yang membangkitkan semangat investor “Indeks berada di atas 8.000. Saya selalu mengatakan kepada investor, indeks akan menuju bulan (to the moon), ini membangun optimisme.”
Namun, pandangan optimistis pejabat tinggi ini dihadapkan pada realitas valuasi. Sejumlah analis pasar menilai target 9.000 di akhir tahun masih terbilang ambisius. Senior Equity Research Analyst dari Mirae Asset Sekuritas Indonesia, misalnya, berpendapat bahwa kenaikan signifikan tersebut kemungkinan baru bisa tercapai pada tahun 2026.
B. Dari Rekor ke Target: Menguji Momentum Realistis Pasar
Secara kinerja, pasar modal domestik sepanjang tahun 2025 telah menunjukkan momentum yang fenomenal. Hingga November 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup pada level 8.508,71, mencatatkan kenaikan signifikan 20,18% secara year to date (YTD). Indeks bahkan sempat mencetak rekor tertinggi sepanjang masa (All Time High) pada 26 November 2025 di level 8.602,13. Rata-rata Nilai Transaksi Harian (RNTH) juga mencetak ATH sebesar Rp23,14 triliun di November 2025, meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya.
Dengan posisi IHSG di sekitar 8.620,48 pada 11 Desember 2025, indeks hanya membutuhkan kenaikan sekitar 4% hingga 5% lagi untuk menggapai 9.000. Gap yang sempit ini menjadikan target Purbaya sangat mungkin dicapai. Kinerja kuat ini ditopang oleh aliran dana asing (net buy) senilai Rp12,02 triliun di November 2025. Meskipun demikian, risiko koreksi tetap tinggi. Volatilitas di Desember 2025 terlihat jelas, pada 11 Desember 2025 IHSG sempat melemah 0,92% ke 8.620,48 didorong oleh sentimen global dan aksi jual di sektor finansial. Skeptisisme analis didasarkan pada anggapan bahwa valuasi pasar sudah merefleksikan ekspektasi laba hingga tahun 2026, sehingga kenaikan lebih lanjut membutuhkan fundamental yang benar benar mengejutkan di sisa tahun 2025.
C. Strategi Purbaya: Merawat Fondasi Likuiditas dan BUMN
Pengaruh Purbaya Yudhi Sadewa di pasar modal tidak hanya didasarkan pada ucapan, melainkan pada serangkaian kebijakan struktural yang secara langsung memengaruhi pilar pilar IHSG. Ia berulang kali menekankan bahwa tugas pemerintah adalah memperbaiki fundamental perekonomian. Ketika fundamental membaik, profitabilitas perusahaan naik, dan nilai saham secara otomatis akan terangkat.
Kebijakan DHE dan Penguatan BUMN
Karena kinerja IHSG sangat didominasi oleh saham-saham perbankan dan BUMN, kebijakan yang menargetkan sektor ini menjadi kebijakan pro IHSG yang efektif. Instrumen kunci yang digunakan Purbaya adalah kebijakan kewajiban parkir Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
Kebijakan DHE ini bertujuan meningkatkan likuiditas dolar domestik dan menjaga stabilitas Rupiah, yang merupakan prasyarat penting bagi investor. Dengan mengkonsentrasikan likuiditas valas di Himbara, pemerintah secara langsung memperkuat daya tahan bank-bank Big Cap yang menjadi penopang utama indeks. Ketegasan Purbaya terlihat dari ancamannya untuk mencopot Direktur Utama BUMN jika mereka melanggar aturan DHE. Hal ini merupakan manifestasi konkret dari “Purbaya Effect” yang menopang target 9.000. Meskipun bertujuan baik, ada gesekan di tingkat implementasi. Penundaan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS) oleh sejumlah besar BUMN di Desember 2025 menimbulkan ketidakpastian tata kelola perusahaan di mata investor.
D. Ujian Global: Ketika Kebijakan The Fed Menciptakan Paradoks
Ujian terbesar bagi optimisme domestik adalah kebijakan moneter global. Ketika Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga acuan 25 bps ke kisaran 3,5% sampai 3,75% pada Desember 2025, reaksi pasar Indonesia menunjukkan paradoks yang menarik.
Meskipun Rupiah menguat terhadap dolar , IHSG dan empat saham bank besar justru melemah. Pelemahan sektor perbankan ini mengindikasikan bahwa investor tidak fokus pada manfaat likuiditas saat ini, melainkan pada prospek profitabilitas ke depan. Pemotongan The Fed memicu ekspektasi penurunan suku bunga domestik oleh Bank Indonesia. Penurunan suku bunga domestik ini berpotensi menekan Net Interest Margin bank. Karena sektor perbankan merupakan kontributor laba terbesar di bursa, prospek NIM yang terkompresi langsung menyeret indeks ke bawah. Volatilitas ini menunjukkan bahwa pasar modal Indonesia telah beranjak ke tingkat kedewasaan yang baru, di mana sentimen tidak lagi hanya didikte oleh penguatan Rupiah, melainkan oleh perhitungan mendalam mengenai prospek laba korporasi di bawah rezim suku bunga yang mungkin akan lebih rendah. Purbaya, dengan fokus pada fundamental, menghadapi tantangan transmisi kebijakan moneter yang kompleks.
E. Jaminan Fundamental, Bukan Sekadar Ramalan
Target IHSG 9.000 pada akhir 2025 adalah taruhan yang sangat ambisius. Kinerja YTD 20% menunjukkan bahwa fundamental dan sentimen positif yang didorong oleh Purbaya telah berhasil memposisikan indeks hanya beberapa langkah dari puncak tersebut. Namun, pencapaian target tepat waktu sangat bergantung pada bagaimana window dressing Desember mampu mengalahkan aksi ambil untung dan risiko kompresi margin perbankan akibat kebijakan suku bunga global.
Skenario paling realistis menunjukkan bahwa IHSG mungkin akan berakhir di level 8.700 hingga 8.800 pada 2025, gagal menyentuh 9.000 tetapi membawa momentum yang kuat ke awal tahun berikutnya. Penundaan ini adalah masalah timing dan pricing valuasi, bukan kegagalan fundamental. Jejak Purbaya Yudhi Sadewa di pasar modal adalah tentang penekanan pada stabilitas struktural yang memastikan bahwa kenaikan indeks memiliki akar yang kuat. Pada akhirnya, bagi investor dan akademisi yang lebih penting daripada tepatnya angka 9.000 di tanggal tertentu adalah keberlanjutan dari fundamental yang menjadi landasan optimisme jangka panjang. Jika fondasi ini terus diperkuat, seperti yang diyakini Purbaya puncak tertinggi pasar modal Indonesia hanyalah masalah waktu.
JogloNesia Informasi Jogja Solo Indonesia