Sponsored

Misteri Foto 1965: Pawai PKI, 2 Jenazah Tak Terungkap

Peristiwa kelam 1965 kini telah menginjak usia 60 tahun, sebuah periode yang terus memicu berbagai penelitian dan upaya penyajian analisis maupun perspektif baru yang berani menentang narasi tunggal yang didominasi oleh pemerintah Orde Baru. Dalam sebuah karya terbaru mengenai tragedi 1965, dua akademisi ternama mengambil langkah serupa, namun dengan medium yang unik dan berbeda: visual.

Adalah Geoffrey Robinson dan Douglas Kammen, dua akademisi di balik buku berjudul Exposed: A Visual History of the Destruction of the Indonesian Left—yang rencananya akan dirilis tahun ini. Mereka telah mengumpulkan ratusan, bahkan ribuan, foto dari periode awal 1960-an hingga 1970-an. Foto-foto ini, menurut Geoffrey, merupakan “arsip sejarah penting” yang menggambarkan bagaimana dinamika politik internal Indonesia bergeser menjadi salah satu peristiwa yang disebut sebagai genosida terburuk abad ke-20.

“Buku ini lahir dari semangat untuk mengungkap apa yang selama ini tersembunyi, dan untuk membuka kemungkinan pemahaman sejarah yang lebih mendalam,” jelas Geoffrey kepada BBC News Indonesia, seraya menambahkan, “Bahkan mungkin juga membuka jalan bagi keadilan [bagi para korban].”

Sejumlah foto dalam buku ini begitu menggetarkan. Salah satunya menampilkan ratusan orang ditahan di Kraton Surakarta pada Desember 1965, disinyalir memiliki kaitan dengan PKI atau organisasi massa ‘Kiri’ lainnya. Foto lain memperlihatkan pemandangan serupa, ratusan orang berkumpul di sebuah lapangan di Jawa Tengah, ditangkap oleh militer karena dianggap bagian dari kelompok Kiri. Tak hanya dokumentasi para korban 1965, Geoffrey dan Douglas juga berhasil mengumpulkan jepretan kamera yang menyingkap para elite di pusaran politik saat itu: militer, PKI, hingga sosok Sukarno. Salah satu foto yang paling mencolok, misalnya, memperlihatkan Ketua PKI, DN Aidit, diringkus tentara dengan wajah tertutup kain. Foto ini diduga diambil sesaat sebelum Aidit dieksekusi di Jawa Tengah pada akhir 1965.

Sponsored

Douglas Kammen menegaskan bahwa koleksi foto-foto yang mereka dapatkan berfungsi sebagai jendela untuk sejenak menilik kembali apa yang sesungguhnya terjadi di masa lampau. “Tentang apa yang mereka [negara dan militer] sembunyikan dan apa yang secara tidak sengaja terungkap melalui foto-foto yang ada,” paparnya.

Keterlibatan Geoffrey Robinson dengan Peristiwa 1965 bermula pada pertengahan 1970-an, terinspirasi oleh dua senior dan mentornya di Universitas Cornell, Benedict Anderson dan George Kahin. Geoffrey banyak belajar dari mereka, terutama dari riset Benedict Anderson bersama Ruth McVey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, yang dikenal sebagai ‘Cornell Paper’. Riset ini menuding adanya campur tangan militer di balik 1965 dan sempat membuat TNI murka, bahkan berujung pada pencekalan Ben Anderson masuk ke Indonesia. Sementara Kahin, dengan bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), mendirikan Cornell Modern Indonesia Project (CMIP) yang menjadi wadah penelitian para akademisi luar negeri tentang Indonesia.

Bagi Geoffrey, Indonesia adalah “negara yang indah.” Keindahan itu ia rasakan saat menginjakkan kaki di Bali, namun ia kemudian menyadari bahwa “di balik segala keindahan alamnya, ada rahasia, ada peristiwa buruk yang menimpa masyarakat. Menggambarkan juga, pada waktu yang sama, tentang betapa politik Indonesia berubah secara drastis,” tuturnya saat diwawancarai BBC News Indonesia. Rahasia kelam itu kemudian ia ulas dalam bukunya The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali (1995), yang menjelaskan bagaimana politik membentuk wajah Bali, dari masa kolonial Belanda hingga Tragedi 1965. Dalam konteks 1965, Geoffrey menulis bahwa “sekitar 5% penduduk Bali yang kurang dari dua juta jiwa [saat itu] menjadi korban pembantaian massal,” menandai sebuah titik kelam dalam sejarah dunia modern.

Sejak saat itu, Geoffrey mencurahkan perhatiannya pada Tragedi 1965 dan Indonesia, meyakini bahwa daya rusaknya begitu besar, setara dengan pembantaian politik global lainnya seperti Rwanda, Armenia, hingga Kamboja, dengan perkiraan korban antara 500.000 hingga 1 juta orang yang dibunuh, dipenjara, dan dihilangkan secara paksa. Setelah kediktatoran Soeharto tumbang, berbagai upaya untuk mengungkap Peristiwa 1965—termasuk akar penyebabnya—mulai bermunculan melalui penelitian, publikasi, atau film dokumenter.

Namun demikian, Geoffrey merasakan adanya kekurangan fundamental. “Bukti visual tentang 1965 sangat minim dan tidak lengkap. Dan ini adalah kelemahan yang, menurut kami, telah berkontribusi pada pengetahuan soal 1965 itu sendiri yang relatif rendah di kalangan umum,” tegasnya. “Di lain sisi, kesalahpahaman atas peristiwa ini juga sering ditemukan.” Niat untuk menyajikan dimensi “baru” pada Peristiwa 1965 pun menguat di benaknya. Bersama Douglas Kammen, akademisi dan pengajar di National University of Singapore, Geoffrey memulai proyek besar untuk merealisasikan apa yang ia definisikan sebagai “sejarah visual.”

Geoffrey dan Douglas memerlukan waktu yang tidak sebentar dalam menuntaskan kerja-kerja pengarsipan visual 1965. Proyek Exposed yang dimulai sekitar 2017 ini mengumpulkan foto-foto dari beragam sumber: pemerintah, militer, juru warta lokal dan internasional, media massa, organisasi sipil, hingga seniman. Proyek ini membagi linimasa menjadi tiga periode utama: sebelum 1965, saat 1965, serta setelah 1965. Setiap sumber foto memiliki karakteristik dan biasnya sendiri. Geoffrey mencontohkan foto-foto yang berasal dari lemari penyimpanan negara atau militer:

Pertama, foto-foto 1965 yang dirilis oleh TNI umumnya menggambarkan korban sebagai pengkhianat dan tanpa wajah, sementara para pelaku—negara, militer, serta ormas—di-framing sebagai pahlawan yang mempertahankan hukum dan ketertiban. Kedua, gambar resmi mengenai 1965, menurut Geoffrey, hampir tidak pernah memperlihatkan kekerasan yang meluas dan ekstrem yang dilakukan oleh pelaku utama—tentara dan sekutu sipil mereka. Dan ketiga, dalam banyak foto, tentara serta aliansinya berpose dengan sombong, seolah menandai atau memperingati kemenangan yang kelak akan dinikmati generasi mendatang. “Sebaliknya, sebagian besar tahanan politik tampak putus asa, lesu, dan kalah. Mungkin karena mereka tidak melihat jalan keluar, atau mungkin karena mereka telah diperingatkan oleh tentara untuk tidak mengungkapkan emosi mereka,” tandas Geoffrey.

Geoffrey menerangkan bahwa salah satu fotografer lokal yang menyumbang banyak foto perihal 1965 adalah Moelyono, yang pada 1960-an bekerja di surat kabar Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Ketika Peristiwa 1965 pecah, Moelyono direkrut militer untuk mengambil foto-foto dalam operasi “penumpasan PKI.” Salah satu hasil tangkapan kameranya memperlihatkan jenazah dua anak laki-laki yang terbaring tengkurap di lumpur. Foto ini dibuat saat Moelyono turut dalam rombongan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang tengah menghabisi orang-orang “Kiri” di Jawa Tengah pada akhir 1965. Berpuluh tahun kemudian, Moelyono bercerita kepada antropolog asal AS, Karen Strassler, bahwa tentara memberlakukan batasan ketat terhadap apa yang boleh ia foto dan gambar mana yang akhirnya dipublikasikan. Yang terpenting, terang Moelyono saat berjumpa Karen, kamera tidak boleh memotret kekerasan yang dilakukan tentara. “Moelyono juga diminta untuk tidak menunjukkan wajah anggota PKI atau yang terhubung dengan PKI yang sudah tewas. Sehingga ini cukup membantu menjelaskan posisi aneh dalam foto mayat tersebut,” papar Geoffrey.

Geoffrey dan Douglas mengakui bahwa foto-foto bernuansa kekerasan eksplisit—yang berujung pada hilangnya nyawa, misalnya—sangat sedikit mereka temukan. Potret lokasi pembantaian massal pun hampir tidak tersedia. Keadaan ini tercipta karena, sekali lagi, militer memegang penuh kendali atas distribusi informasi pada 1965. Secara garis besar, foto-foto yang dihasilkan pada periode 1965-1967 merupakan cerminan bagaimana militer membangun propaganda dengan begitu terstruktur melalui Pusat Penerangan Angkatan Darat. Pesan yang hendak disampaikan ke publik berisikan penegasan betapa bengis dan jahatnya PKI beserta anggota maupun simpatisannya. “Ada satu foto yang setelah kami telusuri diambil pada [Peristiwa] Madiun 1948, ketika tentara dan PKI berkonflik. Foto korban kekerasan 1948 itu disebarluaskan lagi oleh militer Indonesia untuk membingkai bahwa PKI brutal dan pengkhianat,” Geoffrey memberi tahu BBC News Indonesia. Sejak awal, Geoffrey melanjutkan, militer sengaja menciptakan narasi palsu terhadap orang-orang “PKI.” Dan ketika tujuan itu berhasil, dalam arti publik terpengaruh secara emosi, militer seketika merebut ruang yang kosong dengan menanamkan propaganda baru ke ingatan kolektif masyarakat. “PKI itu kejam, dan tentara adalah pahlawan yang menyelamatkan [Indonesia],” tambah Geoffrey.

Walaupun sebagian besar visual ihwal 1965 dimaksudkan untuk mempertebal otoritas militer, Geoffrey dan Douglas berpendapat bahwa foto-foto yang mereka kumpulkan juga secara tidak sengaja memperlihatkan kekerasan sistematis terhadap orang-orang yang dituduh PKI. Ambil contoh, satu foto menunjukkan seorang pejabat militer lokal berbicara di hadapan kerumunan orang di Purwodadi, Jawa Tengah. Orang-orang dalam foto tersebut memegang senjata—bambu runcing—serta dikelilingi tentara yang membawa senapan. Kerumunan itu merupakan bagian dari kelompok milisi yang digandeng tentara untuk menumpas orang-orang komunis. Di foto lain, ratusan orang ditempatkan di sebuah lapangan di satu desa di Jawa Tengah, dalam posisi duduk, dengan anak kecil dan laki-laki dewasa di antaranya. Di hadapan mereka berdiri anggota milisi lokal yang menenteng bambu runcing. Tidak jauh berbeda dengan dua foto di atas, ada pula foto yang menggambarkan tahanan dikumpulkan di balai desa di Klaten, Jawa Tengah, dengan militer dan masyarakat lokal berdiri di samping, seolah mengawasi gerak-gerik mereka.

“Selain [foto kekerasan dan tahanan] itu, ada satu foto yang benar-benar menarik perhatian saya. Foto pawai PKI di Yogyakarta, diambil sebelum [Peristiwa] 1965 [pecah],” ujar Geoffrey. “Dan foto ini juga dapat memberikan semacam refleksi atas propaganda militer terhadap PKI.” Dalam foto yang dituturkan Geoffrey, yang diambil oleh Moelyono sekitar 1965, sekelompok anak muda terlihat menikmati acara pawai yang diselenggarakan PKI di alun-alun Kraton Yogyakarta. Beberapa bahkan mengarahkan pandangan langsung ke arah kamera dan tertangkap sedang tersenyum, menyiratkan suasana yang jauh berbeda dari narasi yang kemudian dominan.

Geoffrey menyatakan tidak semua foto berhasil dikumpulkan, seperti penyiksaan tahanan, kekerasan seksual, atau saat korban 1965 diangkut untuk dibantai di suatu lokasi. Namun, sebagai sejarawan, Geoffrey percaya bahwa foto-foto yang dia peroleh bersama Douglas dapat membuka bagian dari masa lalu yang selama ini disembunyikan. Foto-foto tersebut, kata Geoffrey, memberikan analisis mengenai babak penting dalam sejarah kelam yang berjalan relatif singkat, dari 1965 hingga 1967. “Kami percaya ketika ditempatkan dalam konteks yang tepat dan dengan memperlihatkan kondisi produksinya, baik itu secara politik atau sosial, gambar-gambar ini dapat mengingatkan kita pada hal-hal yang telah diabaikan dalam narasi konvensional,” sebut Geoffrey.

Douglas menyimpan asa bahwa foto-foto yang disusun dalam Exposed mampu mengisi celah sejarah 1965 yang masih tersedia. Ia menggarisbawahi betapa Exposed diharapkan “menantang narasi resmi yang telah membentuk ingatan sosial masyarakat di Indonesia.” “Kami menginginkan foto dan gambar ini ditempatkan dalam konteks sejarah agar kelak interpretasi baru dapat terbentuk setelah lebih dari setengah abad propaganda pemerintah bergerak [memberi pengaruh] ke masyarakat dan politik, bahkan sampai saat ini,” pungkasnya.

Ringkasan

Dua akademisi, Geoffrey Robinson dan Douglas Kammen, akan merilis buku Exposed: A Visual History of the Destruction of the Indonesian Left, yang bertujuan menantang narasi tunggal Peristiwa 1965 melalui arsip visual. Buku ini mengumpulkan ribuan foto dari awal 1960-an hingga 1970-an, mendokumentasikan penahanan massal, tokoh politik, dan dinamika peristiwa yang dianggap sebagai genosida terburuk abad ke-20. Tujuannya adalah membuka pemahaman sejarah yang lebih mendalam dan potensi keadilan bagi para korban.

Meskipun banyak foto pada periode tersebut di bawah kendali militer dan digunakan untuk propaganda, Robinson dan Kammen menemukan bahwa koleksi mereka secara tidak sengaja juga menyingkap kekerasan sistematis terhadap mereka yang dituduh PKI. Foto-foto tersebut, yang dikumpulkan dari berbagai sumber sejak 2017, berusaha mengisi celah sejarah visual 1965 yang minim dan menantang narasi resmi. Buku ini diharapkan dapat menantang narasi resmi yang telah membentuk ingatan sosial masyarakat Indonesia selama lebih dari setengah abad.

Sponsored