MANTAN Bendahara Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Indonesia (Amphuri), Tauhid Hamdi, kembali menjadi sorotan setelah dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemanggilan ini dilakukan guna mendalami lebih lanjut dugaan korupsi kuota haji 2024 yang tengah diselidiki oleh lembaga antirasuah tersebut.
Pemeriksaan terhadap Tauhid Hamdi berlangsung di Gedung Merah Putih KPK pada Selasa, 7 Oktober 2025. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangan tertulisnya, membenarkan agenda pemeriksaan ini. Dalam kesempatan yang sama, KPK juga memanggil tiga pihak lain sebagai saksi. Mereka adalah Direktur PT Sindo Wisata Travel, Supratman Abdul Rahman; Direktur Utama PT Thayiba Tora, Artha Hanif; serta Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggaraan Haji Umrah dan In-Bound Indonesia (Asphurindo), M. Iqbal Muhajir.
Budi Prasetyo menjelaskan bahwa keempat individu tersebut dimintai keterangan dalam kapasitasnya sebagai saksi terkait dugaan korupsi kuota haji di lingkungan Kementerian Agama. Meskipun demikian, Budi belum merinci materi pemeriksaan spesifik yang didalami dari masing-masing saksi. Penyelidikan ini merupakan bagian dari upaya KPK untuk mengungkap praktik rasuah dalam distribusi kuota ibadah haji yang krusial bagi umat Muslim di Indonesia.
Sebelum pemanggilan terakhir, Tauhid Hamdi sendiri telah menjalani pemeriksaan sebanyak dua kali, yakni pada 19 dan 25 September 2025. Pada pemeriksaan kedua, Tauhid Hamdi mengungkapkan bahwa penyidik KPK mengkonfirmasi pertemuannya dengan mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Pertemuan itu, menurut Tauhid, salah satunya membahas kebijakan terkait pembagian tambahan kuota haji. “Hari ini ada 11 pertanyaan, pertemuan dengan Gus Yaqut,” kata Tauhid Hamdi usai pemeriksaan pada 25 September 2025, mengindikasikan fokus KPK pada interaksi tersebut.
Pelaksana tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menduga kuat adanya pertemuan antara Tauhid Hamdi dan Yaqut yang berkaitan dengan penerbitan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama tentang pembagian tambahan kuota haji 2024. “Apakah sebelum atau setelah terbitnya SK? Itu yang kami dalami,” tegas Asep, menyoroti pentingnya kronologi dan substansi pertemuan tersebut dalam kerangka penyelidikan korupsi.
Diketahui, Pemerintah Indonesia kala itu memperoleh tambahan kuota haji sebanyak 20 ribu kursi, sebuah hasil diplomasi Presiden Jokowi dengan Kerajaan Arab Saudi. Menurut KPK, idealnya tambahan kuota ini dibagi 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus. Namun, ironisnya, Kementerian Agama justru membaginya secara tidak proporsional, yaitu masing-masing 10 ribu kursi untuk haji reguler dan 10 ribu kursi untuk haji khusus.
KPK berpandangan bahwa skema pembagian yang tidak seimbang ini diduga kuat menguntungkan segelintir pihak, termasuk sejumlah biro penyelenggara ibadah haji. Dengan mekanisme ini, mereka yang memiliki kemampuan membayar lebih, menurut Asep, bisa langsung memberangkatkan jemaahnya tanpa harus melewati antrean panjang yang lazim dialami calon jemaah haji reguler. Praktik ini menciptakan jalur istimewa yang mencederai prinsip keadilan dalam beribadah.
Penyelidikan KPK juga menguak modus operandi di balik pembagian kuota haji ini. Asep Guntur Rahayu membeberkan bahwa pembagian kuota haji tersebut tidaklah gratis. Setiap agen perjalanan haji diduga harus membayar sejumlah uang, antara US$ 2.700 hingga US$ 7.000, atau sekitar Rp 42 juta hingga Rp 115 juta, untuk mendapatkan satu kursi. Dana tersebut, lanjut Asep saat dikonfirmasi pada Ahad, 21 September 2025, diduga mengalir kepada oknum-oknum tertentu di Kementerian Agama, memperkaya diri dari ibadah suci umat.
Pilihan Editor: Fulus Korupsi Kuota Haji Mengalir Kemana-mana
Ringkasan
Mantan Bendahara Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Indonesia (Amphuri), Tauhid Hamdi, kembali diperiksa KPK terkait dugaan korupsi kuota haji 2024 di lingkungan Kementerian Agama. KPK juga memanggil tiga saksi lain dan mendalami pertemuan Tauhid Hamdi dengan mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Pertemuan tersebut diduga berkaitan dengan kebijakan pembagian tambahan kuota haji.
Kementerian Agama diduga membagi tambahan 20 ribu kuota haji secara tidak proporsional, yaitu masing-masing 10 ribu kursi untuk haji reguler dan haji khusus. Pembagian ini diduga menguntungkan biro penyelenggara tertentu dengan pembayaran US$ 2.700 hingga US$ 7.000 per kursi. Dana tersebut diduga mengalir kepada oknum di Kementerian Agama, menciptakan jalur istimewa dan mencederai prinsip keadilan ibadah haji.
JogloNesia Informasi Jogja Solo Indonesia
